Ahlan Wa Sahlan,,
selamat datang di blog saya yang penuh dengan beragam kejutan,,hahaha
yang penting heppi

Selasa, 21 Januari 2014

Menjadi Tunawisma di Kampung Sendiri


Otonomi daerah yang sudah berlangsung sekian tahun, ternyata belum begitu berdampak signifikan terhadap kemakmuran rakyat. Otonomi yang memberikan kebebasan bagi daerah untuk menentukan nasib daerahnya, memberikan kesempatan bagi para elite di daerah untuk mempercantik rumah (baca : daerah), menginteriornya seindah mungkin agar para penghuninya (baca:rakyat) menjadi nyaman. Ternyata hanya menyisakan begitu banyak persoalan.
Bukan hanya menimbulkan para konglomerat baru tapi juga memberikan kesempatan yang begitu luas bagi tindakan korupsi. Korupsi telah menjamur ke daerah bak cendawan di musim hujan. Selain itu otonomi juga belum sepenuhnya mampu mempercepat ketertinggalan suatu daerah. Sehingga tidak mengherankan jika daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah ternyata disanalah terdapat kantung-kantung kemiskinan. Mengapa hal ini terjadi ?. Siapa yang bertanggung jawab atas semuanya ?, berbagai pertanyaan muncul ketika melihat fenomena-fenomena tersebut. Di negeri yang kaya akan sumber daya alam, tanah yang subur. Namun rakyatnya tidak memiliki akses terhadap sumber daya alam itu.
Dari hal tersebut, sebenarnya siapa yang salah. Rakyat yang bodoh dan lemah, pemerintah yang tidak tahu mengurusi daerahnya atau kepentingan modal yang berkuasa?. Peliknya masalah sumber daya alam memang tidak hanya terjadi di provinsi ini. Sebagai contoh, di kecamatan Bengkalis Provinsi Riau terdapat suku Sakai, salah satu suku asli di provinsi itu. Mereka menjadi peminta-minta di daerah mereka sendiri, padahal di daerah itu setiap hari mengalir 450.000 barrel minyak dari ladang minyak di daerah mereka untuk PT. Chevron Pacific Indonesia yang dulu bernama PT Caltex Pacific Indonesia. Tanah-tanah mereka telah berubah menjadi areal-areal perkebunan sawit dan karet, hutan tanaman industri dan perusahaan lainnya. Tapi anehnya dari ribuan karyawan yang bekerja disana, hanya lima orang Sakai yang bekerja di PT.CPI dan itupun hanya menjadi satpam.
Begitu juga dengan Papua yang kaya akan emas, biji besi dan sumber daya alam lainnya. Tapi daerah itu masih saja tertinggal. Beberapa suku asli seperti suku Amungme dan Komoro pun termarginalkan dari tanah leluhur mereka. Sehingga tak salah kemudian banyak orang Indonesia menjadi “tunawisma” di kampungnya sendiri. 
Hal ini setidaknya berpangkal dari mainstream pembangunan yang bertumpu pada kepentingan modal dengan jargon pertumbuhan ekonomi menjadi pemicu dari segalanya. Sehingga rakyat kecil yang tidak memiliki akses terhadap modal tersingkirkan begitu saja. Pemerintah daerah sebagai kepanjangtangan dari rakyat yang diharapkan mampu melindungi hak rakyat pada kenyataannya menjadi para pejuang bagi pemilik modal. Dengan kebijakannya yang tidak melindungi atau secara langsung melanggar hak-hak rakyatnya serta melakukan berbagai hal termasuk mempermudah segala perizinan. Hukum pun terlalu lemah untuk melindungi rakyat dan lingkungan sekitarnya. Tidak ada proteksi terhadap rakyat dari dampak buruk yang akan ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut.
Pemerintah daerah seakan-akan tidak berdaya. Aparatus-aparatus negara tersebut menjadi lembaga yang “kadaluwarsa” terhadap kepentingan modal. Dengan dalih untuk meningkatkan perekonomian dan membuka lowongan pekerjaan, mereka memberi kesempatan seluas mungkin bagi para investor yang bergerak pada usaha pengeskploitasian sumber daya alam dengan menyediakan lingkungan ekonomi yang menarik, regulasi yang minimal, pajak rendah, tenaga kerja “fleksibel” dan lain sebagainya termasuk merelakan apa yang menjadi hak penghuninya dirampas oleh pemilik modal. Namun anehnya, tujuan untuk meningkatkan ekonomi melalui pengekspolitasian kekayaan alam jauh panggang dari api. Alih-alih meningkatkan ekonomi dari beberapa contoh diatas dan juga yang terjadi di provinsi ini, masyarakatlah yang banyak dirugikan. Setiap ada perjanjian kontrak dengan para investor, rakyat jarang dilibatkan. Rakyat dianggap sebagai entitas yang tidak penting. Jika pun dilibatkan, kepentingan modal lah yang akan memenangkannya. Tak ada jaminan bagi rakyat disekitar wilayah tersebut terhadap kekayaan alam mereka apalagi jika terjadi kerusakan lingkungan.
Bagaimana dengan Babel, mungkin kita bisa melihat sendiri, tanah yang kaya akan timah ini telah berubah menjadi tanah yang kaya akan lubang-lubang camuy. Hutan lindung dan mangrove di babat habis, daerah aliran sungai menjadi wilayah penambangan timah, sesuatu hal yang berpotensi untuk menunjang kehidupan manusia dihancurkan begitu saja hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar dan kepentingan sesaat. Padahal hakekat manusia adalah penyatuan dengan alam, jika terjadi kerusakan alam manusialah yang paling merasakan dampak dari kerusakan tersebut.

Pemerintah daerah pun sebenarnya tahu apa dampak dari perusahaan-perusahaan yang bergerak pada pengeksplotasian sumber daya alam tersebut. Jika kekayaan alam habis, mereka dengan mudah mengalihkan perusahaan-perusahaannya ke wilayah yang baru demi mencari keuntungan. Akhirnya kekayaan alam itu hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Para pengusaha yang kaya akan semakin kaya sementara rakyat yang memiliki sumber daya alam harus menjadi buruh atau bahkan hanya mendengarkan kalau kekayaan tanah leluhurnya di ambil oleh pemilik modal. Setelah itu, mereka meninggalkan beratus-ratus permasalahan termasuk kerusakan ekologi. Sehingga rakyatlah yang akan merasakan dampak dari kerusakan tersebut. Seharusnya jargon pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada kepentingan modal dan pemanfaatan sumber daya alam sudah lama di tinggalkan. Pemerintah harus mengupayakan hal lain bagi rakyat termasuk menjamin hak-hak mereka dari kepentingan modal sehingga kasus di Teluk Limau dan teluk-teluk lainnya tidak terjadi lagi. Sudah saatnya pemerintah berpihak kepada rakyat. Jangan sampai rakyat yang sudah miskin bertambah miskin hanya karena tidak memiliki apa-apa termasuk tanah yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Tidak bijak rasanya hanya karena dalih untuk membuka lowongan pekerjaan, pemerintah mengorbankan hak rakyat padahal pada kenyataannya perusahaan-perusahaan tersebut tidak berdampak signifikan dalam mengurangi pengangguran. Bukankah masih banyak sektor lain yang menjanjikan. Provinsi Babel memiliki banyak potensi pariwisata yang belum sepenuhnya terjamah, perikanan, perternakan, pertanian dan lain sebagainya. Sehingga lingkungan Babel yang rusak ini tidak bertambah hancur.

Sumber : Titania

Tidak ada komentar:

Posting Komentar